Kamis, 20 Mei 2010

EKSISTENSI PILKADA MASA DEPAN

Oleh: Karsidi Setiono
Alumni Ikatan Remaja Muhammadiyah

Pemilihan kepala daerah beberapa kabupaten di Lampung tinggal menghitung hari. Lebih tepatnya dilangsungkan 30 Juni 2010. Berbagai intrik politik calon bupati/wali kota bersama wakilnya pun berjalan. Mulai isu politik uang (money politic), kampanye hitam (black campaign), dan sebagainya mewarnai pertarungan merebut kursi nomor satu di daerah tersebut.

ADA beberapa faktor sangat menentukan seseorang memenangkan pertarungan dalam ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) di tingkat kabupaten/kota. Yaitu uang, jaringan, dan figur.

Uang sepertinya paling dominan. Persoalan ini dapat dilihat dengan mata telanjang pada ajang Pilkada di kabupaten/kota se-Lampung yang digelar sejak 2005. Dimulai Pilkada Bandarlampung dan Kota Metro. Kemudian menyusul di Tanggamus, Lampung Barat, Tulangbawang, dan pilkada-pilkada di kabupaten lain. Keberadaan uang sungguh mujarab untuk meraih tiket menjadi calon dan menentukan pilihan seseorang di ajang kompetisi merebut kekuasaan di daerah.

Modus penyebaran uang di ajang pilkada bermacam-macam. Mulai yang paling halus: pemberangkatan wisata religi oleh salah satu calon, bantuan ke majelis taklim, bantuan untuk rumah-rumah ibadah, sumbangan di even-even sosial, bantuan duka, dan bantuan tak terduga. Kemudian yang semihalus: investasi memenangkan pemilihan di tingkat desa, bantuan pendidikan, pembuatan jalan, bibit, juga penyaluran raskin. Sedangkan kasar: uang dan beras menjelang pemilihan yang jumlahnya kisaran Rp50.000 per pemilih.

Hitung yang bagian terakhir saja. Andai seorang kandidat harus mengongkosi 10.000 pemilih, uang yang ludes mencapai Rp500 juta. Jika 100.000 pemilih yang disasar, harus disediakan Rp5 miliar. Ini baru urusan menjelang pemilihan di hari ’’H”. Belum urusan kaos, spanduk, billboard, leaflet, dan macam-macam bantuan plus investasi jangka panjang dan jangka pendek yang harus ditunaikan. Hitung pula biaya pencitraan: promosi, iklan, dan survei.

Jika item serangan fajar itu saja sudah mencapai Rp5 miliar, seorang kandidat agaknya harus menyediakan modal ’’minimal” Rp10 miliar untuk ikut bertarung di ajang Pilkada. Ini perkiraan biaya yang tak termasuk jor-joran. Kalau ingin ’’mengalahkan” kompetitor, biaya yang ludes bisa dua sampai tiga kali lipat. Mungkin yang moderat di kitaran Rp25 miliar.

Pilkada yang diikuti 4–7 pasangan boleh jadi menghabiskan biaya politik beromzet sedikitnya Rp100 miliar. Dana ini sudah cukup membuat jalan hotmix kualitas nomor satu sepanjang lebih-kurang 100 km (antara Bandarlampung–Bakauheni). Ini tak termasuk biaya resmi yang dikeluarkan APBD untuk penyelenggaraan pilkada yang disalurkan kepada KPU, panwas, atau untuk urusan pengamanan, dan satgas pilkada di lingkungan pemda.

Banyak pihak melegitimasi belanja ratusan miliaran rupiah itu sebagai ’’ongkos politik”. Juga sebagai sesuatu yang lumrah untuk mendapatkan jabatan prestisius. Benar, tidak mungkin menggapai sesuatu tanpa adanya pengorbanan. Tapi bukan untuk pertarungan dalam dunia politik. Jika demikian adanya, pembenaran untuk hal ini sah-sah saja bagi pelakunya apalagi banyaknya kata istilah: ’’tak ada makan siang yang gratis.”

Mungkin, inilah akibat ’’demokrasi di tengah perut yang lapar”. Para pemilih dan yang dipilih masih dikerangkeng logika perut: memilih sesuai bayaran, bukan sesuai hati nurani. Ini menyangkut persoalan ’’di sini” dan ’’saat ini”. Bukan ’’nanti”. Maka, pilihan pemilih jatuhnya pada logika yang amat pragmatis pemilihan umum secara langsung sebenarnya hendak menggugurkan logika ini: hubungan yang terputus antara pemilih dan yang dipilih. Pada pemilu yang hanya mencoblos tanda gambar, mereka yang dipilih hanya memerlukan konstituen pada saat pemilu. Usai itu pemilih tak diperlukan lagi karena tak jelas mana dan siapa konstituen yang sesungguhnya. Keterputusan ini diatasi dengan mengubah sistem mencoblos: coblos tanda gambar dan nama orangnya. Perkembangan yang lebih berkualitas: coblos nama orangnya saja. Ini akan membuat pemilih dan yang terpilih harus senantiasa menjalin hubungan yang langgeng sebagai syarat adanya kesinambungan (manfaat) politik secara timbal balik.

Pilkada sesungguhnya telah mematahkan kelemahan pokok pada pencoblosan tanda gambar (saja). Di bilik suara, pemilih tak disuguhkan tanda gambar partai politik. Pemilih mencoblos tanda gambar pasangan calon. Mekanisme ini membuat hubungan pemilih dan yang dipilih bersifat langsung dan berkesinambungan.

Pilkada agaknya masih gagal mentransformasikan sistem nilai lama pada pemilu-pemilu sebelumnya ke sistem pemilu saat ini yang membawa nilai-nilai baru. Pemilu yang baru masih sebatas pada ”demokrasi prosedural-formal”, belum pada hal-hal yang bersifat subtansial dan makna hakiki sebuah demokrasi. Dalam kondisi itu, pemilu termasuk Pilkada) tidak ditempatkan sebagai proses sirkulasi kepemimpinan yang sehat untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Tetapi masih dilihat sebagai ”momen” untuk mendapatkan kaos, paket sembako, uang, beras, pesta makan, keliling gratis, dan menciptakan perkoncoan politik dan ekonomi: membangun dinasti baru untuk kelanggengan kekuasaan.

Situasi ini telah melahirkan kenyataan baru: industri politik. Mungkin inilah tipikal demokrasi di tengah perut lapar dan keserakahan. Sulit dibilang demokrasi telah ditekuk kapitalisme. Sebab, kapitalisme membawa nilai-nilai yang rasional dan terbuka dalam memilih, meskipun sangat kental dengan dimensi peruntungan. Mungkin lebih pas: pilkada masih senilai paket sembako.

Kita amat sedih. Tapi inilah kenyataannya. Seorang pendatang baru di panggung politik dapat saja menang asal memiliki ’’gizi yang berlimpah”. Seorang pemain lama bisa come back dengan modal yang sama. Seorang incumbent tetap mengeluarkan belanja yang amat mahal, padahal sudah lima tahun memberi bukti.

Modal uang itu pula yang akan memperkuat jaringan kekuatan sampai di tingkat akar rumput. Jaringan formal dan informal dapat dibentuk. Tetapi belum tentu efektif tanpa faktor uang. Pilkada kabupaten/kota di sejumlah tempat menunjukkan, jaringan birokrasi lebih menentukan daripada jaringan partai. Jika keduanya bersinergi, ditambah dengan kekuatan jaringan informal, menjadi sulit ditandingi. Jaringan birokrasi pemda hingga ke desa-desa hanya mungkin dikalahkan jaringan partai dan jaringan informal yang kuat, dengan didukung oleh kekuatan modal (uang) yang hebat. Tanpa uang, jaringan apapun –birokrasi, partai, dan informal– akan lumpuh. Jaringan birokrasi bisa saja payah. Tetapi jaringan partai dan informal harus solid, plus memiliki dukungan logistik dan finansial yang kuat. Bisa saja incumbent menguasai jaringan birokrasi dan partai yang solid. Tetapi jika penantang memiliki modal yang kuat, punya jaringan informal dan partai yang ok plus figur yang layak jual, incumbent bisa tumbang.

Figur, untuk pilkada di kabupaten/kota, merupakan faktor ketiga. Mungkin pengaruhnya sekitar 25 persen, kemudian sekitar 45% ditentukan oleh kekuatan financial (keuangan), dan faktor jaringan sekitar 30–35%. Apa boleh buat, pilkada masih memilih sembako, belum memilih figur.

Orang bisa saja membantah dengan argumentasi ini: bukankah sejumlah partai politik menentukan calonnya berdasarkan hasil survei? Benarlah argumentasi ini. Tetapi yang memenangkan survei tetap saja mengeluarkan uang yang (mungkin) lebih banyak dibandingkan dengan yang kalah di survei. Lagi pula survei dilakukan untuk tunduk pada keinginan dan kebutuhan pemesan: harus menang di Pilkada. Maka survei di ajang pilkada masih lebih sebagai alat propaganda politik.

Pada 2010 demokrasi di ajang pilkada kabupaten/kota makin jauh dari cita-cita hakikinya: membentuk pola masyarakat yang sehat, bermartabat dan mendapatkan pemimpin yang visioner. Partai-partai politik besar di tingkat nasional direpotkan oleh dua hal: memburu target pemenangan pilkada yang belum tercapai, dan mempersiapkan program daam rangka memburu target pemenangan pada pemilu nasional 2014 mendatang. Pada tataran lokal ada target dan ambisi petinggi partai: ingin punya prestasi dan karena itu mesti sapu bersih. Kombinasi kepentingan tingkat nasional dan lokal ini akan membuat pilkada dianggap ’’momentum hidup atau mati”.

Diperkirakan, pertarungan akan makin keras, suhu politik meningkat, dan perlombaan sembako akan lebih jor-joran. Pertarungan kekuatan modal (uang) makin terbuka dan terjadi secara kasat mata. Perebutan pemilih menaikkan tarif, dan akan terjadi mekanisme ’’penawar harga tertinggi”. Makan siang bukan cuma tak gratis. Tetapi juga harus menyuguhkan undian, voucher dan/atau hadiah tunai.

Usai itu, bandar harus pulang modal. Malah, menurut logika ekonomi, mesti untung. Maka, sesungguhnya yang ’’dirampok’’ adalah hak rakyat. Tinggal terserah rakyat: Terus menerus pasrah hak-haknya diperkosa, dijarah dan dicampakkan senilai paket sembako.

Bagaimana eksistensi pilkada di masa depan?

Kalau semua diperhitungkan dengan uang. Lalu gimana persoalannya jika seorang pemimpin yang bagus memiliki program yang cemerlang, tapi tidak memiliki anggaran yang mempuni untuk menorobos kejajaran atas untuk melakukan perubahan yang significant membangun sebuah daerah menjadi lebih maju dan lepas dari persoalan ’’Kemiskinan’’ yang selama ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi keberlangsungan kehidupan bernegara.

Budaya politik uang akan selalu ada jika dari masyarakat sendiri lebih mengutamakan perut dari pada hati nurani. Mudah-mudahan pikada kabupaten/kota di Lampung nanti menjadi lebih baik dan merupakan simbol keberhasilan berdemokrasi dimasa depan. Amien.

dIMUAT Di Radarlampung : 10-05-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar