Kamis, 20 Mei 2010

EKSISTENSI PILKADA MASA DEPAN

Oleh: Karsidi Setiono
Alumni Ikatan Remaja Muhammadiyah

Pemilihan kepala daerah beberapa kabupaten di Lampung tinggal menghitung hari. Lebih tepatnya dilangsungkan 30 Juni 2010. Berbagai intrik politik calon bupati/wali kota bersama wakilnya pun berjalan. Mulai isu politik uang (money politic), kampanye hitam (black campaign), dan sebagainya mewarnai pertarungan merebut kursi nomor satu di daerah tersebut.

ADA beberapa faktor sangat menentukan seseorang memenangkan pertarungan dalam ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) di tingkat kabupaten/kota. Yaitu uang, jaringan, dan figur.

Uang sepertinya paling dominan. Persoalan ini dapat dilihat dengan mata telanjang pada ajang Pilkada di kabupaten/kota se-Lampung yang digelar sejak 2005. Dimulai Pilkada Bandarlampung dan Kota Metro. Kemudian menyusul di Tanggamus, Lampung Barat, Tulangbawang, dan pilkada-pilkada di kabupaten lain. Keberadaan uang sungguh mujarab untuk meraih tiket menjadi calon dan menentukan pilihan seseorang di ajang kompetisi merebut kekuasaan di daerah.

Modus penyebaran uang di ajang pilkada bermacam-macam. Mulai yang paling halus: pemberangkatan wisata religi oleh salah satu calon, bantuan ke majelis taklim, bantuan untuk rumah-rumah ibadah, sumbangan di even-even sosial, bantuan duka, dan bantuan tak terduga. Kemudian yang semihalus: investasi memenangkan pemilihan di tingkat desa, bantuan pendidikan, pembuatan jalan, bibit, juga penyaluran raskin. Sedangkan kasar: uang dan beras menjelang pemilihan yang jumlahnya kisaran Rp50.000 per pemilih.

Hitung yang bagian terakhir saja. Andai seorang kandidat harus mengongkosi 10.000 pemilih, uang yang ludes mencapai Rp500 juta. Jika 100.000 pemilih yang disasar, harus disediakan Rp5 miliar. Ini baru urusan menjelang pemilihan di hari ’’H”. Belum urusan kaos, spanduk, billboard, leaflet, dan macam-macam bantuan plus investasi jangka panjang dan jangka pendek yang harus ditunaikan. Hitung pula biaya pencitraan: promosi, iklan, dan survei.

Jika item serangan fajar itu saja sudah mencapai Rp5 miliar, seorang kandidat agaknya harus menyediakan modal ’’minimal” Rp10 miliar untuk ikut bertarung di ajang Pilkada. Ini perkiraan biaya yang tak termasuk jor-joran. Kalau ingin ’’mengalahkan” kompetitor, biaya yang ludes bisa dua sampai tiga kali lipat. Mungkin yang moderat di kitaran Rp25 miliar.

Pilkada yang diikuti 4–7 pasangan boleh jadi menghabiskan biaya politik beromzet sedikitnya Rp100 miliar. Dana ini sudah cukup membuat jalan hotmix kualitas nomor satu sepanjang lebih-kurang 100 km (antara Bandarlampung–Bakauheni). Ini tak termasuk biaya resmi yang dikeluarkan APBD untuk penyelenggaraan pilkada yang disalurkan kepada KPU, panwas, atau untuk urusan pengamanan, dan satgas pilkada di lingkungan pemda.

Banyak pihak melegitimasi belanja ratusan miliaran rupiah itu sebagai ’’ongkos politik”. Juga sebagai sesuatu yang lumrah untuk mendapatkan jabatan prestisius. Benar, tidak mungkin menggapai sesuatu tanpa adanya pengorbanan. Tapi bukan untuk pertarungan dalam dunia politik. Jika demikian adanya, pembenaran untuk hal ini sah-sah saja bagi pelakunya apalagi banyaknya kata istilah: ’’tak ada makan siang yang gratis.”

Mungkin, inilah akibat ’’demokrasi di tengah perut yang lapar”. Para pemilih dan yang dipilih masih dikerangkeng logika perut: memilih sesuai bayaran, bukan sesuai hati nurani. Ini menyangkut persoalan ’’di sini” dan ’’saat ini”. Bukan ’’nanti”. Maka, pilihan pemilih jatuhnya pada logika yang amat pragmatis pemilihan umum secara langsung sebenarnya hendak menggugurkan logika ini: hubungan yang terputus antara pemilih dan yang dipilih. Pada pemilu yang hanya mencoblos tanda gambar, mereka yang dipilih hanya memerlukan konstituen pada saat pemilu. Usai itu pemilih tak diperlukan lagi karena tak jelas mana dan siapa konstituen yang sesungguhnya. Keterputusan ini diatasi dengan mengubah sistem mencoblos: coblos tanda gambar dan nama orangnya. Perkembangan yang lebih berkualitas: coblos nama orangnya saja. Ini akan membuat pemilih dan yang terpilih harus senantiasa menjalin hubungan yang langgeng sebagai syarat adanya kesinambungan (manfaat) politik secara timbal balik.

Pilkada sesungguhnya telah mematahkan kelemahan pokok pada pencoblosan tanda gambar (saja). Di bilik suara, pemilih tak disuguhkan tanda gambar partai politik. Pemilih mencoblos tanda gambar pasangan calon. Mekanisme ini membuat hubungan pemilih dan yang dipilih bersifat langsung dan berkesinambungan.

Pilkada agaknya masih gagal mentransformasikan sistem nilai lama pada pemilu-pemilu sebelumnya ke sistem pemilu saat ini yang membawa nilai-nilai baru. Pemilu yang baru masih sebatas pada ”demokrasi prosedural-formal”, belum pada hal-hal yang bersifat subtansial dan makna hakiki sebuah demokrasi. Dalam kondisi itu, pemilu termasuk Pilkada) tidak ditempatkan sebagai proses sirkulasi kepemimpinan yang sehat untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Tetapi masih dilihat sebagai ”momen” untuk mendapatkan kaos, paket sembako, uang, beras, pesta makan, keliling gratis, dan menciptakan perkoncoan politik dan ekonomi: membangun dinasti baru untuk kelanggengan kekuasaan.

Situasi ini telah melahirkan kenyataan baru: industri politik. Mungkin inilah tipikal demokrasi di tengah perut lapar dan keserakahan. Sulit dibilang demokrasi telah ditekuk kapitalisme. Sebab, kapitalisme membawa nilai-nilai yang rasional dan terbuka dalam memilih, meskipun sangat kental dengan dimensi peruntungan. Mungkin lebih pas: pilkada masih senilai paket sembako.

Kita amat sedih. Tapi inilah kenyataannya. Seorang pendatang baru di panggung politik dapat saja menang asal memiliki ’’gizi yang berlimpah”. Seorang pemain lama bisa come back dengan modal yang sama. Seorang incumbent tetap mengeluarkan belanja yang amat mahal, padahal sudah lima tahun memberi bukti.

Modal uang itu pula yang akan memperkuat jaringan kekuatan sampai di tingkat akar rumput. Jaringan formal dan informal dapat dibentuk. Tetapi belum tentu efektif tanpa faktor uang. Pilkada kabupaten/kota di sejumlah tempat menunjukkan, jaringan birokrasi lebih menentukan daripada jaringan partai. Jika keduanya bersinergi, ditambah dengan kekuatan jaringan informal, menjadi sulit ditandingi. Jaringan birokrasi pemda hingga ke desa-desa hanya mungkin dikalahkan jaringan partai dan jaringan informal yang kuat, dengan didukung oleh kekuatan modal (uang) yang hebat. Tanpa uang, jaringan apapun –birokrasi, partai, dan informal– akan lumpuh. Jaringan birokrasi bisa saja payah. Tetapi jaringan partai dan informal harus solid, plus memiliki dukungan logistik dan finansial yang kuat. Bisa saja incumbent menguasai jaringan birokrasi dan partai yang solid. Tetapi jika penantang memiliki modal yang kuat, punya jaringan informal dan partai yang ok plus figur yang layak jual, incumbent bisa tumbang.

Figur, untuk pilkada di kabupaten/kota, merupakan faktor ketiga. Mungkin pengaruhnya sekitar 25 persen, kemudian sekitar 45% ditentukan oleh kekuatan financial (keuangan), dan faktor jaringan sekitar 30–35%. Apa boleh buat, pilkada masih memilih sembako, belum memilih figur.

Orang bisa saja membantah dengan argumentasi ini: bukankah sejumlah partai politik menentukan calonnya berdasarkan hasil survei? Benarlah argumentasi ini. Tetapi yang memenangkan survei tetap saja mengeluarkan uang yang (mungkin) lebih banyak dibandingkan dengan yang kalah di survei. Lagi pula survei dilakukan untuk tunduk pada keinginan dan kebutuhan pemesan: harus menang di Pilkada. Maka survei di ajang pilkada masih lebih sebagai alat propaganda politik.

Pada 2010 demokrasi di ajang pilkada kabupaten/kota makin jauh dari cita-cita hakikinya: membentuk pola masyarakat yang sehat, bermartabat dan mendapatkan pemimpin yang visioner. Partai-partai politik besar di tingkat nasional direpotkan oleh dua hal: memburu target pemenangan pilkada yang belum tercapai, dan mempersiapkan program daam rangka memburu target pemenangan pada pemilu nasional 2014 mendatang. Pada tataran lokal ada target dan ambisi petinggi partai: ingin punya prestasi dan karena itu mesti sapu bersih. Kombinasi kepentingan tingkat nasional dan lokal ini akan membuat pilkada dianggap ’’momentum hidup atau mati”.

Diperkirakan, pertarungan akan makin keras, suhu politik meningkat, dan perlombaan sembako akan lebih jor-joran. Pertarungan kekuatan modal (uang) makin terbuka dan terjadi secara kasat mata. Perebutan pemilih menaikkan tarif, dan akan terjadi mekanisme ’’penawar harga tertinggi”. Makan siang bukan cuma tak gratis. Tetapi juga harus menyuguhkan undian, voucher dan/atau hadiah tunai.

Usai itu, bandar harus pulang modal. Malah, menurut logika ekonomi, mesti untung. Maka, sesungguhnya yang ’’dirampok’’ adalah hak rakyat. Tinggal terserah rakyat: Terus menerus pasrah hak-haknya diperkosa, dijarah dan dicampakkan senilai paket sembako.

Bagaimana eksistensi pilkada di masa depan?

Kalau semua diperhitungkan dengan uang. Lalu gimana persoalannya jika seorang pemimpin yang bagus memiliki program yang cemerlang, tapi tidak memiliki anggaran yang mempuni untuk menorobos kejajaran atas untuk melakukan perubahan yang significant membangun sebuah daerah menjadi lebih maju dan lepas dari persoalan ’’Kemiskinan’’ yang selama ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi keberlangsungan kehidupan bernegara.

Budaya politik uang akan selalu ada jika dari masyarakat sendiri lebih mengutamakan perut dari pada hati nurani. Mudah-mudahan pikada kabupaten/kota di Lampung nanti menjadi lebih baik dan merupakan simbol keberhasilan berdemokrasi dimasa depan. Amien.

dIMUAT Di Radarlampung : 10-05-2010

Jumat, 14 Mei 2010

Opini bulan april

Opini Hari Buruh : Mayday dan HAM untuk para Buruh

Oleh : Karsidi Setiono
Aktivis LSM Gerakan Aliansi Untuk Perubahan (LSM – GALAU) / Alumni Ikatan Remaja Muhammadiyah Lampung

PERINGATAN Hari Buruh Internasional, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei, yang sering disebut mayday tahun ini unik karena dirayakan ditengah banyaknya kesulitan dari berbagai persoalan yang membelit kehidupan kenegaraan. Ditambah lagi persoalan yang dihadapi para pekerja Indonesia di luar negeri khususnya untuk konteks TKI didahului dengan pemaparan senarai panjang kisah duka seputar para TKI dan TKW kita, sebagaimana pernah dilansir media massa nasional hampir secara beruntun beberapa waktu lalu. Mulai dari persoalan kesalahan prosedural seputar pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri sampai pada persoalan yang lebih substansial terkait tindak kekerasan yang menjadikan para TKI dan TKW kita sebagai korbannya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan hidup, yang didapat ternyata hanyalah kemelut sosial dan kemanusiaan yang sulit terselesaikan.

Sebenarnya ada sesuatu yang lebih mendalam dan mendasar. Tingginya semangat dan jumlah perantau merupakan sebuah fakta yang sedang berbicara tentang ketakmemadaian berbagai sektor di tanah sendiri yang sedianya menjadi kekuatan penyokong kehidupan. Itu berarti, untuk sebagian orang, cita-cita untuk hidup, hidup baik dan hidup lebih baik lagi tidak dapat tercapai apabila bersikeras pada pendirian untuk tetap tinggal di kampung halaman sendiri. Tanah-tanah warisan leluhur kini tidak lagi menjanjikan hasil yang membesarkan hati. Lahan-lahan yang dulu tampak hijau dan subur sebagiannya kering kerontang. Peralihan musim yang tidak menentu membuat para petani kita tak mampu membuat program berkaitan dengan kegiatan pertanian mereka.



Di tempat lain, keputusasaan muncul lantaran hasil bumi yang memadai tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai pula. Fluktuasi pasar yang tidak menentu menyurutkan semangat para petani. Harga-harga sebagian besar komoditas masyarakat yang mendarat rendah tidak mampu mengimbangi, apalagi melebihi harga barang kebutuhan yang mesti dibeli karena tidak dihasilkan sendiri. Para petani setiap kali hanya mampu mengernyitkan dahi dan memukul dada, lantaran usaha mereka seakan-akan tak membawa hasil. Masyarakat lebih banyak menanggung rugi, beruntung kalau imbas. Kini, kemelut ekologi dan ekonomi seakan-akan setali tiga uang menghantam tuntas nasib sejumlah petani kecil. Cita-cita merantau sebenarnya bisa timbul dari situasi seperti ini.



Namun apa yang diharapkan untuk didapat dari keputusan merantau tidak selamanya tercapai secara tuntas. Kita menyaksikan sejumlah soal pelik dalam hubungan dengan para perantau kita. Ideal kerja sebagai sarana penyempurnaan diri dan kemanusiaan malah sering menampilkan diri dalam peran yang sebaliknya. Untuk konteks para TKI dan TKW yang diperlakukan secara tidak manusiawi misalnya, kerja malah menjadi ekses yang mengantar mereka pada pemojokan nilai kemanusiaan, bahkan sampai pada titik yang paling kelam.



Tesis filsafat manusia bahwa kerja mengabdi pada kepentingan perkembangan manusia sedang dibantah secara telak. Sebab, nyatanya manusialah yang menghambakan (dan mengorbankan) diri pada kerja. Nasib malang yang menimpa sejumlah TKI dan TKW asal daerah ini sebenarnya menyadarkan kita bahwa masalah seputar perburuhan tidak sebegitu asing untuk konteks masyatakat kita, meskipun seringkali malah dikucilkan dari konstelasi diskursus sosial-politik lokal.



Fakta ini menjadi satu variabel untuk sekali lagi menjustifikasi dan melengkapi filsuf Karl Marx (1818-1883) dalam tesisnya tentang alienasi manusia dalam kerja. Kerja yang adalah aktivitas khas manusia (homo faber) ternyata juga bermakna bipolar. Pada satu sisi, kerja menjadi sarana aktualisasi diri (perwujudan bakat-bakat), afirmasi kebebasan manusia sebagai tuan atas alam serta locus aktualisasi dimensi sosial ada manusia (hasil kerja bisa diakui dan dimanfaatkan orang lain). Pada sisi lain, bersamaan dengan kemunculan era industri (dengan kerja upahan sebagai sistem khasnya), kerja menjadi jebakan pada alienasi manusia khususnya para pekerja. Marx menyebutkan beberapa indikasi alienasi manusia dalam kerja seperti kebergantungan mutlak pada perusahaan dan majikan, minimnya peluang untuk menikmati hasil kerja secara langsung (hasil kerja adalah milik perusahaan), pekerja memperalat diri untuk mendapatkan nafkah, persaingan antarpara pekerja serta permusuhan antara pekerja dengan majikan-karenanya kerja upahan mengasingkan manusia dari sesamanya (FB Hardiman, 2007).



Bipolaritas makna semakin kentara manakala kerja berada pada sebuah tegangan. Pada satu pihak, kerja menjadi sarana untuk menjamin dan menyokong keberlangsungan hidup. Dan pada pihak lain, keterlibatan dalam kerja bisa menjadi jalan masuk pada pengalaman akan hal-hal yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai universal dan semangat dasariah kehidupan. Kerja bukan lagi sarana untuk menjamin HAM (sabagai nilai dasariah kehidupan), tetapi sebaliknya pengorbanan HAM malah menjadi taruhan dan prasyarat utamanya. Rupanya inilah sketsa pengalaman TKI dan TKW kita yang menjadi 'korban'. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang dan kondisi yang rentan dengan pelanggaran HAM

Tak pernah tuntas
Masalah seputar dunia perburuhan umumnya dan TKI/TKW khususnya memang pelik bahkan tak pernah tuntas terurus. Meskipun demikian, nasib kaum buruh harus tetap menjadi medan perwujudan komitmen keberpihakan kita pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Keberpihakan pada mereka sedianya menjadi wujud konkret perjuangan pembelaan dan penegakan HAM yang kian intens disadari dan dilancarkan. Namun karena manusia, padanya hak-hak dasar itu melekat adalah makhluk multi-dimensi, penegakan HAM adalah sebuah praksis, dalamnya pemberdayaan totalitas aspek kehidupan manusia digalakkan.



Dalam kaitan dengan penanggulangan masalah seputar perantauan dan pemenuhan hak-hak dasar kaum pekerja dalam konteks TKI/TKW asal Lampung, beberapa ideal berikut penting untuk dikemukakan dan selanjutnya diberi perhatian serius. Pertama, selain penertiban administrasi, para perantau kita perlu juga dibekali dengan sejumlah latihan kerja sebagai persiapan diri sebelum meninggalkan tanah air untuk mengaduh nasib serta mempertaruhkan takdir di negeri orang. Boleh jadi nasib malang yang akhirnya menimpa kaum buruh kita berawal dari kualitas hasil kerja yang tidak diharapkan. Pelatihan dan pendidikan khusus untuk pelbagai bidang yang berpeluang untuk mereka geluti sebagai mata pencaharian merupakan sesuatu yang bersifat niscaya untuk terus diperhatikan dan ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun komponen masyarakat lainnya. Dengan ini, pelanggaran HAM kaum buruh yang dipicu oleh rendahnya kualitas kerja sedikit ditangkal.



Kedua, masalah seputar perantauan yang untuk sebagian orang kemudian menjadi sumber malapetaka merupakan sesuatu yang tak terbendung selama kondisi ekologi dan ekonomi di tanah sendiri belum dapat memberi jaminan kepastian untuk menyokong kehidupan. Kemiskinan akibat kondisi alam yang tidak memadai seakan-akan disempurnakan oleh sistem ekonomi yang seringkali tidak memihak pada masyarakat. Gagasan dan praksis pemulihan ekologi dalam berbagai bentuk tampilan konkretnya juga menjadi langkah preventif yang mesti turut diperhitungkan. Sementara itu, semua komponen masyarakat yang mesti bertanggung jawab mesti lebih serius memikirkan dan mengusahakan sebuah politik ekonomi yang sedapat mungkin memberi ruang bagi perolehan keuntungan optimal bagi masyarakat lokal sebagai penghasil komoditi.



Dalam kadar tertentu, masalah seputar perburuhan dan HAM untuk konteks TKI sebenarnya terjadi dalam sebuah pentahapan yang tampak apik. Kemelut ekonomi dan ekologi menciptakan kemiskinan. Kemiskinan memancing semangat merantau. Merantau adalah juga pintu masuk yang terbuka lebar bagi pelbagai jenis pelanggaran hak-hak dasar kaum buruh serta rahim bagi lahir dan bertumbuhnya pelbagai masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang penuh misteri, padanya hidup dipertaruhkan tanpa jaminan kepastian. Keterlibatan dalamnya bisa menjadi jalan melaluinya hidup itu dipertahankan dan selalu diperbaiki. Serentak pula ia bisa menjadi jalan masuk yang tak terduga dari awal, melaluinya hidup itu sendiri disingkirkan keberadaannya. Perhatian terhadap beberapa aspek yang disebut sebelumnya bisa menjadi bahan pertimbangan pelbagai pihak, entah pemerintah, lembaga-lembaga non-pemerintah ataupun komponen masyarakat lainnya dalam usaha mencegah munculnya pelanggaran HAM akibat keterlibatan dalam dunia kerja tertentu. Penegakan HAM secara niscaya mensyaratkan pemberdayaan totalitas nilai dan dimensi yang menjadi unsur konstitutif jati diri dan keberadaan manusia. *



*Lahir di PSS Utara, Lampung Barat, 5 Mei 1985. Alumni SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung

18 April 2010

Penertiban Pola Prostutusi Kota

Oleh Karsidi Setiono
Mantan Aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah

Perkembangan prostitusi kini cenderung meningkat dengan menyebarnya aktivitas wanita tunasusila (WTS) atau pekerja seks komersial (PSK) hampir di sebagian kota-kota besar. Termasuk daerah kita. Ditambah lagi semakin maraknya keberadaan account-account transaksi prostitusi yang ada pada jejaring sosial Facebook. Ini merupakan sebuah masalah tersendiri yang harus diselesaikan aparat pemerintahan dan tokoh-tokoh terkait.



JIKA kita perhatikan, aktivitas kehidupan PSK tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Berarti, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan praktiknya tanpa usaha-usaha menertibkannya.

Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota, seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandarlampung.

Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro-kontra dalam memandang persoalan ini, tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena masing-masing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelesaian permasalahan mereka.

Menurut pemantauan Dinas Sosial, khususnya daerah-daerah tempat prostitusi yang berada di Bandarlampung, meliputi tempat-tempat hiburan dan mereka tersebar beberapa tempat mangkalnya WTS atau PSK. Seperti kawasan daerah Tanjungkarang Pusat, jalan protokol (pada hotel-hotel), eks Pasar Seni Enggal, eks lokalisasi Pemandangan/Pantai Harapan (Panjang), Jl. Pramuka, Jl. Urip Sumoharjo, sepanjang Jl. Yos Sudarso, dan daerah kawasan daerah Telukbetung.

Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yang bersifat liar (ilegal) dan sporadis pada daerah kota menjadi persoalan urgen dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah daerah. Akan tetapi, persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Terbukti setelah lokalisasi ditutup, justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan makin liar.

Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang merasa terganggu akan praktik legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab, hal ini bergantung faktor adat istiadat, norma-norma susila, dan agama yang menentang segala bentuk kegiatan pelacuran.

Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada, umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan (mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka. Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi.

Ada beberapa penyebab mengapa persoalan prostitusi sulit ditertibkan dan terus marak. Menurut pengamat patologi sosial Kartini Kartono, dapat dilihat dari indikator meningkatnya aktivitas pelacuran. Pertama, tidak adanya undang-undang atau peraturan yang melarang, membatasi, dan mengatur kegiatan pelacuran secara benar menyangkut kegiatan tempat-tempat prostitusi/hiburan. Artinya, selain tidak adanya sanksi tegas terhadap orang-orang/tempat dan organisasi yang melakukan kegiatan relasi prostitusi.

Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma agama, dan sosial sehinggga menimbulkan dekadensi moral.

Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha ilegal menjadi legal, baik dari kepentingan biologis, ekonomis, maupun politik.

Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu, untuk mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktivitas pekerjaan sebagai WTS.



Jenis Prostitusi dan Lokalisasi

Menurut aktivitasnya, prostitusi pada dasarnya terbagi dua jenis. Pertama, prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi) dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengawasan kepolisian dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. Umumnya, mereka dilokalisasi dalam satu daerah/area tertentu.

Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan, seperti pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan prostitusi.

Sedangkan kedua adalah jenis prostitusi yang tidak terdaftar bukan lokalisasi. Adapun yang termasuk kelompok ini ialah mereka yang melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun kelompok terorganisasi.

Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.

Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan.

Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.

Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.

Artinya, kita sudah saatnya memikirkan kerugian lebih besar bila prostitusi dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengaturan regulasi dan (lokalisasi).

Sebab, kini di Indonesia penderita HIV/AIDS terus meningkat tiap tahunnya sejak

penyakit ini menyerang awal 1987. Diperkirakan sampai akhir 2003 penderita HIV/AIDS mencapai 3.614 orang dengan 332 korban meninggal dunia.

Sedangkan menurut data yang diperoleh Dinas Sosial dan Kesehatan Provinsi Lampung, sepanjang 2003 diperkirakan 64 orang positif HIV dengan perbandingan peningkatan dua kali lipat (100%) dibandingkan tahun sebelumya sebanyak 33 kasus yang positif. Terjadinya peningkatan penderita HIV yang luar biasa berdampak kepada kekhawatiran kita mengenai persoalan ini.

Adapun penyebab perkembangan penyakit HIV/AIDS yang paling utama lebih disebabkan hubungan seks bebas (pelacuran), meluasnya pekerja seks bebas yang masih beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan.

Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran, termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab.

PSK yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan pekerjaan, yang terdiri atas sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji yang manis. Ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan, tapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka. (*)